Btw
kok kadang kita ngerasa Tuhan itu jahat, kita minta ini gak dikabul,
pengen itu gak dikasih trus pgn pacar tapi kok blum dapet2 juga. :)
Padahal gak gitu sob, pasti ada sesuatu kenapa permintaan kita gak
dikabul, kenapa sebab kita masih jomblo, yg suatu saat nanti kita pasti
mengerti dan menyadarinya. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling
cocok untuk kita dan semua rencanaNya adalah SEMPURNA.
Terpenting
kita harus inget sob, “syarat terkabul doa adalah yakin dan doa tanpa
usaha sama dengan kosong serta berusaha tanpa berdoa dia itu sombong”.
coba baca postingan berikut deh, mudah2an terinspirasi n ada manfaatnya buat kalian semua.. :)
Di sebuah desa hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan
lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian,
nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan
riang. "Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus
menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu
pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu
tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia
letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya bergemuruh.Tempe yang
akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai,
sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari
peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi.
Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan
uang, untuk makan, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah
kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa,terbersit harapan di
dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang
mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa.
"Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi
hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini
menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia
yakin, Allah akan mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan
mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun
itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan
pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan... dia kecewa. Tempe itu
masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semua menyatu oleh
kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia
yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan
jadi.
Dia jg yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang
setia beribadah. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke
dalam keranjang,dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang
mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan
selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah.Bantulah aku,
kabulkan doaku..."
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar,
dia buka lagi daun pembungkus tempe.Pasti telah jadi sekarang,
batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan... belum jadi.
Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun
atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang...
pasti," yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan
itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses
peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa...
berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan
keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya.
Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan...
dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti
ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Air mata menitiki
keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak
jadi? Apakah Tuhan ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya
berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di
atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada
keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba
merasa lapar... merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku,
batinnya.
Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat
berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan
pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe
di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang
pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.
Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya
tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat...
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia
memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah
tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah
jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang
menjualnya. Ibu punya?"
Penjual tempe itu bengong. Terkesima.
Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi,
dia cepat menadahkan tangan. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe
itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe
itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil
tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan,
sekarang sudah jadi tempe..."
"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya
Allah, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan
gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang
dia lihat, sahabat?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang
masih sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera
dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?"
"Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah S2 di Australia ingin
sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum
busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa
besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa,
Bu?"